Rabu, April 01, 2009

MENYIKAPI TAQDIR

Dalam setengah bait sya’ir pada sebuah buku tentang tauhid bernama Jauharah at Tauhiid disebutkan :
وَالْقُدْرَةُ بِمُمْكِنٍ تَعَلَّقَتْ
"Qudrah (kekuasaan) Allah itu berkaitan dengan sesuatu yang mungkin terjadi".

Dengan kata lain, taqdir di dunia ini selalu terjadi melalui al asbab al ‘adiyah, sebab-sebab yang logis.

Jika anda sehabis shalat berdoa memohon kepada Allah agar di depan rumah anda ada pohon mangga berbuah lebat, maka yakinilah sesungguhnya Dia Maha Kuasa mewujudkannya secara langsung pada saat doa anda selesai, bahkan lebih cepat dari itu. Namun perlu diketahui bahwa sesungguhnya Allah telah men-taqdir-kan hukum-hukum yang berlaku di atas permukaan bumi. Jika anda berada di Surga, insya Allah apa yang anda minta akan segera hadir di hadapan anda. Tetapi taqdir Allah di dunia menetapkan bahwa pohon mangga berbuah lebat yang anda inginkan itu harus anda tanam dan pelihara terlebih dahulu, ada proses yang harus dilalui. Kemudian apabila akhirnya pohon mangga itu tumbuh sesuai harapan anda, maka itulah taqdir dari-Nya melalui sebab anda menanam dan memelihara dengan baik serta didukung sebab-sebab lainnya. Namun jika pohon mangga itu kemudian tidak tumbuh sesuai harapan anda, itu pun taqdir dari-Nya yang tentunya bisa juga dijelaskan sebab-sebab logisnya.

Allah menciptakan alam semesta ini beserta taqdir bagi mereka. Allah taqdir-kan matahari terbit di timur dan terbenam di barat, Allah taqdir-kan setiap benda jatuh ke bawah, tidak ke atas, bumi mengelilingi matahari, bulan mengelilingi bumi, siang dan malam silih berganti, bernafas menghirup oxygen dan mengeluarkan CO2, ikan hidup di air, manusia hidup di darat dan banyak lagi hukum-hukum yang sudah di-taqdir-kan oleh-Nya di muka bumi ini. Perhatikan firman-Nya :
“Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah taqdir Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan Kami telah men-taqdir-kan bagi bulan tempat-tempat singgah, sehingga (setelah dia sampai ke tempat singgah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua”.
(Yasin : 38-39)

Taqdir, ketetapan atau hukum-hukum Allah yang ditetapkan bagi alam semesta ini adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari oleh seluruh makhluknya. Semua tunduk kepada ketetapan-Nya ini. Dan ketetapan Allah bagi alam semesta ini, kemudian dianggap orang-orang sebagai sesuatu yang logis alias mungkin atau wajar terjadi pada alam semesta ini. Jika benda jatuh ke bawah disebut logis, tetapi tidak logis jika jatuh ke atas. Padahal jika sejak pertama Allah menetapkan benda-benda jatuh ke atas, maka hal inilah yang menjadi logis. Begitupun ketika matahari terbit di timur, kejadian ini tidak dianggap aneh karena sejak dahulu ditetapkan oleh-Nya seperti itu. Tetapi jika terjadi kondisi sebaliknya, maka orang-orang akan menganggap aneh. Padahal bagi Allah, menerbitkan matahari dari barat sama mudahnya dengan menerbitkannya dari timur.

Jika seorang teman anda bertanya, “Kenapa si Fulan meninggal dunia ?”. Jika anda menjawab “Karena taqdir”, maka jawaban anda benar tetapi bukan jawaban yang itu yang diharapkan si penanya, karena kalau jawabannya seperti itu, si penanya juga sudah tahu. Tentunya teman anda mengharapkan anda menjawab mengenai penyebabnya. Mungkin jawaban anda, “Karena dia sakit kanker”, misalnya. Jadi takdir meniggal bagi orang yang sedang dibicarakan, melalui satu sebab logis yaitu penyakit kanker.
Tapi perlu juga diingat, bahwa menderita penyakit kanker yang menjadi sebab meninggalnya orang itu, merupakan taqdir pula. Sehingga bisa saja kemudian muncul lagi pertanyaan, “Kenapa dia sakit kanker?”. Dan jawaban untuk pertanyaan ini selain “Karena taqdir”, bisa juga dijawab dengan penyebabnya, misalnya saja “Karena dia banyak merokok”. Lalu, “Kenapa dia banyak merokok ?”, tentunya ‘banyak merokok’ itu merupakan taqdir, tetapi taqdir tersebut ada penyebabnya juga, misalnya “Karena lingkungan perokok mempengaruhinya”.
Jadi, “hasil” bersama “proses”, keduanya merupakan taqdir dari-Nya. Allah swt. berfirman :
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”.
(Ash Shaaffaat : 96)

Kemudian muncul pertanyaan, apakah Allah mungkin berkehendak menetapkan sesuatu yang tidak logis di dunia ini ? Jawabannya, kenapa tidak? Jika Dia berkehendak siapa yang bisa menghalanginya.
“Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya”.
(Al Buruuj : 16)
Dan buktinya, kejadian-kejadian khawaariqul ‘aadah (kejadian di luar kebiasaan) atau irrasional sudah sering terjadi.
Kita mengenal kejadian di luar kebiasaan yang terjadi pada para Rasul, yang disebut mukjizat. Ada orang saleh yang akhirnya diberi keistimewaan luar biasa yang disebut karamah atau ma’unah. Baik mukjizat, karamah maupun ma’unah, semuanya datang dengan tiba-tiba dari Allah, atas kehendak-Nya tanpa diusahakan atau dipelajari sebelumnya. Dan adapula kejadian irasional yang sengaja diusahakan oleh seseorang dan bukan anugrah dari Allah atas kesalehannya, ini namanya sihir.
----------
Taqdir hanya diketahui setelah terjadi, sebelum terjadi, manusia tidak mengetahui taqdir bagi dirinya. Maka tugas kita adalah bekerja keras dan berdoa untuk mendapatkan hal yang terbaik. Setelah itu, apapun hasilnya, maka itulah taqdir buat kita. Maka orang yang menerima taqdir, tidak akan menjadi sombong ketika mengalami kesuksesan. Dan dia pun tidak akan putus asa ketika mengalami kegagalan. Karena dia menyadari bahwa semuanya terjadi atas kekuasaan dan kehendak-Nya.
Perhatikan firman Allah swt. :
“Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah." Maka mengapa orang-orang (munafik) itu hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?
Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri”.
(An Nisaa : 78-79)
Pada An Nisaa : 78 di atas sangat tegas disebutkan bahwa "Semuanya (datang) dari sisi Allah.". Namun mungkin ada yang bertanya, kenapa ayat 79 (“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri”.), sepertinya bertentangan dengan ayat 78.
Ayat 78 berbicara tentang kebenarannya bahwa "Semuanya (datang) dari sisi Allah." Sebagaimana dalil-dalil lain menguatkannya. Adapun ayat 79 bimbingan tentang etika, jangan selalu menghubung-hubungkan keburukan kepada Allah, sedangkan kebaikan selalu dihubungkan kepada diri sendiri. Seperti terkadang ada orang yang berkata ketika dia sakit, “Saya sedang diberi musibah oleh Allah, ini adalah taqdir-Nya”, tetapi ketika mendapatkan kesuksesan dia berkata, : “Nah… beginilah hasilnya kalau kita mau bekerja keras”. Semuanya datang dari Allah, tetapi contoh kata-kata orang tadi adalah terbalik, seharusnya dia menghubungkan kebaikan yang diterimanya kepada Allah dan musibah yang diterimanya kepada dirinya.
Menunjukkan kepada pemahaman ini adalah akhir ayat 78, .”Maka mengapa orang-orang (munafik) itu hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?”. Maka berbicara itu harus beretika, apalagi berhubungan dengan Allah.
----------
Ketahuilah bahwa sesuatu yang dinilai baik oleh kita belum tentu sebenarnya baik menurut Allah. Begitupun sebaliknya, sesuatu yang dirasakan tidak enak, bisa jadi adalah baik bagi kita menurut Allah. Manusia tidak tahu apa yang akan terjadi, ia hanya menduga-duga.
“Bisa saja kalian membenci susuatu padahal hal itu baik bagi kalian. Dan bisa saja kalian menyukai sesuatu padahal itu buruk bagi kalian. Dan Allah Maha Mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui.”
(Al Baqoroh – 216)

Maka perlu adanya sabar, mampu menahan diri dari segala hal yang dirasakan tidak enak, tawakkal : menyerahkan segala urusan kepada Allah, husnudz dzann : berbaik sangka kepada Allah, ridla : merasa senang dengan apa yang diberikan-Nya, kemudian syukur : berterima kasih atas segala yang diberikan-Nya.

Wallahu a'alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar