Selasa, Juli 22, 2008

Tidak, kecuali dikehendaki-Nya

Mei 2008

Suatu ketika seorang costumer meminta saya menyelesaikan suatu pekerjaan sesuai target yang dia buat. Ketika saya bilang “insya Allah”, spontan dia berkata : “Jangan insya Allah, ini harus selesai sesuai target, kamu sanggup atau tidak?”. Lho…memangnya ada yang lebih dari ungkapan ‘insya Allah’?.

Sejenak saya berburuk sangka, mungkin aqidah orang ini sedikit bengkok ya. Karena merasa bahwa manusia bisa menjadi penentu dalam mewujudkan rencananya. Padahal hanya Tuhan yang menentukan wujud atau tidaknya segala hal. Bahkan kita tak kuasa untuk memilih, hanyalah Dia yang memutuskan. Jika kita mengaku berkemampuan memilih dan mewujudkan, maka kita telah mempersekutukan-Nya (28 : 68).
Tapi kemudian muncul lagi prasangka baik saya. Mungkin bukan kebengkokan aqidah yang dia derita, tetapi hanya persepsi yang salah mengenai makna ungkapan “insya Allah” ini.

Karena manusia tidak bisa menjadi penentu, maka ketika kita mengungkapkan sebuah rencana hendaknya kita kaitkan rencana itu dengan kehendak-Nya, insya Allah, jika Dia menghendaki. Tanpa ungkapan ini, janganlah sekali – kali kita menjanjikan sesuatu, karena Kanjeng Nabi pernah ditegur Tuhan setelah berjanji bahwa besok akan menyampaikan kisah ashabul kahfi (18 : 23 – 24).

Inilah ketajaman sikap. Inilah aqidah murni tanpa mempersekutukan-Nya. Inilah kesadaran dan keyakinan bahwa kita bukan sekutu-Nya. Bahwa semua rencana dan usaha kita hanya akan terwujud jika Dia menghendaki-Nya.

Ungkapan insya Allah adalah sebuah komitmen, bahwa kita akan berusaha mewujudkan rencana kita, tetapi bersamaan dengan itu kita menyadari, seberapa hebat usaha kita, niscaya tidak akan terwujud jika Dia berkehendak lain. Dengan kata lain, insya Allah itu berarti ungkapan ‘Ya’ bagi sebuah rencana orang beriman.

Kekeliruan lain pun sering terjadi, ketika “insya Allah” digunakan oleh seseorang yang berencana untuk tidak melakukan sebuah pekerjaan. “Apakah anda akan datang ke rumah saya besok?”, lalu dijawab : “Insya Allah”, dengan maksud “tidak”. Padahal insya Allah berarti “Ya”.

Kekeliruan pun sering terjadi ketika kita mengatakan insya Allah bagi sesuatu yang sedang berlangsung. “Apakah anda sedang puasa?”, lalu dijawab : “Insya Allah”. Padahal pada saat insya Allah itu dikatakan, kehendak-Nya sedang berlangsung, puasa sedang dilakukan . Mungkin jadi benar, jika pertanyaannya berbunyi: “Apakah anda besok akan puasa?” atau “Apakah puasa anda hari ini akan selesai sampai maghrib?”.

Katakan “mungkin tidak” untuk sesuatu yang direncanakan tidak akan dikerjakan. Katakan “ya” untuk sesuatu yang memang sudah atau sedang berlangsung. Katakan “insya Allah” untuk setiap rencana yang ingin kita wujudkan. Bukan hanya formalitas. Bukan hanya tambahan pencarian pahala. Tapi lebih dalam dari itu adalah kelurusan akidah dan kesadaran akan kelemahan diri.

Semoga tidak keliru…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar