Kamis, September 25, 2008

Lapar dan haus kita, tidaklah penting bagi Allah

September 2008

Setelah Ramadhan berakhir, seringkali kita merasa puas karena kita telah mampu menahan lapar, haus dan hal-hal lainnya yang membatalkan puasa. Memang benar, menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa itu membuat puasa kita menjadi sah secara fiqh. Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa berarti memenuhi kewajiban puasa dan selamat dari dosa.

Namun jika kita cermati dalil-dalil, kita bisa mengetahui bahwa menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa itu bukanlah tujuan akhir. Sebetulnya ada target yang merupakan pengaruh dari pelaksanaan ibadah puasa ini. Namun target ini malah seringkali kita lupakan. Jika demikian, maka puasa kita hanya menjadi alat untuk menggugurkan kewajiban dan penyelamatan diri dari dosa saja.

Jika kita sedikit merenungkan, kenapa Allah melarang makan, minum dan hal-hal yang membatalkan puasa lainnya. Dan kenapa pula ibadah puasa ini sampai diwajibkan kepada umat-umat yang sebelum kita. Maka pasti ada manfaat dari semua ini bagi diri kita. Manfaat itu dengan tegas dijelaskan di dalam ayat tentang perintah puasa yang berbunyi :
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Agar kalian bertaqwa”.
(Al Baqarah : 183)
Dengan meninggalkan hal-hal yang biasanya halal di siang hari pada bulan lain, maka kita diharapkan memiliki kemampuan untuk selanjutnya secara mudah maninggalkan hal-hal yang diharamkan. Deangan merasakan bagaimana menyakitkannya rasa lapar dan haus, maka diharapkan akan munculnya rasa sayang kepada orang-orang miskin. Dan masih banyak manfaat yang lainnya.

Maka ibadah puasa yang baik adalah ibadah puasa yang membuat ketakwaan semakin meningkat. Ibadah puasa yang baik adalah yang berpengaruh dalam membentuk akhlak mulia.

Dari Abu hurairah r.a., Rasulullah saw, bersabda :
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ ، فَلَيْسَ ِللهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ [رواه البخاري
“Barangsiapa yang (berpuasa tetapi) tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan batil, maka bagi Allah tidak ada kepentingan bahwa orang itu meninggalkan makanan dan minumannya”.
(H.R. Bukhari)
Jadi jelas, tidak ada kepentingan Allah terhadap makanan dan minuman yang kita tinggalkan selama puasa kita tidak menjadikan kita mampu menahan diri kita dari perkataan dan perbuatan batil.

Jika puasa itu merupakan latihan pembentukan akhlak yang mulia, maka insya Allah akan sesuai dengan sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. :
إِذَا دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ فُتِحَتْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ، وَغُلِقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ، وَسُلْسِلَتِ الشَّيَاطِيْنَ
“Jika Ramadhan telah tiba, maka pintu langit dibuka, pintu neraka dikunci dan syetan-syetan dibelenggu”
(H.R. Bukhari)

Hal ini hanya akan terjadi jika puasa kita memiliki pengaruh dalam pembentukan akhlak dan peningkatan ibadah. Jika puasa tidak menhasilkan apa-apa selain rasa lapar dan haus, maka mungkin yang berlaku adalah penjelasan Rasulullah saw pada hadits lain tentang banyaknya orang yang berpuasa tetapi tidak menghasilkan apa-apa kecuali lapar dan haus.

Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar