Rabu, Agustus 05, 2009

JALAN CINTA RABI'AH

Karena cinta dia merasa kecil tetapi karena itu pula dia dianggap besar. Karena cinta dia rela menderita tetapi karena itu pula dia sangat bahagia. Karena cinta dia mengasingkan diri, tetapi karena itu pula namanya tertulis dengan tinta emas sampai saat ini. Dia adalah orang yang meyakini kebenaran, keindahan dan keagungan cintanya hingga tak ada sedikit pun ruang di hatinya yang terisi oleh selain kecintaan kepada Kekasihnya. Dia campakkan apapun yang ada di Bumi dan di Langit karena perasaan cinta kepada Kekasihnya itu.

Di antara syair masyhurnya berbunyi:
Bagaimanapun kekasihku tidak sama dengan kekasih yang lain. Tidak ada yang memiliki satu tempat pun di hatiku selain Dia. Sekalipun Dia gaib dari penglihatan bahkan dari diriku sekalipun, tetapi Ia tidak pernah gaib dari hatiku walau sedetik pun”.

Dia adalah Rabi’ah binti Isma’il Al ‘Adawiyyah Al Bashriyah atau lebih dikenal dengan Rabi’ah Al ‘Adawiyah, ibu para sufi besar dunia. Dilahirkan di Bashrah Irak pada awal abad ke dua hijriyah atau awal abad ke 8 masehi.

Di masa Rabi’ah dilahirkan, umat Islam berada di bawah dinasti pemerintahan Bani Umayah. Tetapi masyarakat Islam yang sebelumnya terkenal dengan ketakwaan mereka kepada Allah, pada masa itu telah mulai memudar. Mereka berlomba-lomba mencari kekayaan, kemaksiatan menyebar luas dan pesta-pesta begitu diagungkan, keimanan mulai tumpul. Akhlak hidup wara’ dan zuhud sudah mulai lenyap. Maka kemudian lahirlah gerakan tashawuf Islam dipimpin Hasan Al Bashry untuk mengatasi perbudakan hawa nafsu yang melanda masyarakat muslim saat itu.

Setelah ditinggal kedua orang tuanya, Rabi’ah yang masih kecil jatuh ke tangan orang yang kejam, yang menjualnya sebagai budak belian dengan harga sangat murah. Setelah bebas dari perbudakan, Rabiah pergi ke tempat- tempat sunyi untuk menjalani hidup terpisah dari manusia lain dan mendekatkan diri hanya kepada Tuhannya.

Di dalam kesunyian malam Rabi’ah berkata :
Oh Tuhanku… bintang-bintang bersinar gemerlap, manusia tertidur nyenyak, raja-raja menutup pintunya dan tiap pecinta sedang asyik bersama kekasihnya. Tapi di sinilah aku sendirian bersama Engkau.

Dan ketika fajar tiba, Rabi’ah pun berkata :
Ya Tuhanku, malam telah berlalu dan siang pun menjelang. Seandainya malam tidak pernah berakhir, alangkah bahagianya hatiku sebab aku dapat selalu bermesraan dengan-Mu. Tuhanku, demi kemuliaan-Mu, walaupun Kau tolak aku mengetuk pintu-Mu, aku akan senantiasa menanti di depannya karena cintaku telah terikat dengan-Mu.

Lantas ketika Rabiah membuka jendela kamarnya sambil memandang alam lepas ia pun berbisik :
Tuhanku, ketika kudengar margasatwa bersuara dan burung-burung mengepakkan sayapnya, pada hakikatnya mereka sedang memuji-Mu. Ketika kudengar desiran angin dan gemericik air di pegunungan, bahkan manakala guntur menggelegar, semuanya kulihat sedang menjadi saksi atas keesaan-Mu”.

Sejak saat itu, seluruh hidupnya diabdikan hanya kepada Allah swt. Hanya doa dan dzikir yang menjadi hiasan hidupnya. Ia lalaikan dunia demi cita-cita akhiratnya. Meskipun banyak pelamar datang, ia tak mau untuk menerimanya. Termasuk lamaran dari orang suci terkenal Hasan Al Bashry. Ia berlaku seperti ini, hanya karena ingin mencurahkan cintanya hanya kepada satu Kekasihnya. Untuk hal ini ia berkata :
Perkawinan itu memang perlu bagi orang yang mempunyai pilihan. Adapun aku tidak mempunyai pilihan untuk diriku. Aku adalah milik Tuhanku dan aku di bawah perintah-Nya. Aku tidak mempunyai apa pun.

Rabi’ah telah membentuk satu cara yang luar biasa di dalam mencintai Allah. Dia menjadikan kecintaan kepada-Nya sebagai satu cara untuk membersihkan hati dan jiwa. Dia memulai pemahaman sufinya dengan menanamkan rasa takut kepada kemurkaan Allah seperti yang pernah dikatakannya :
Wahai Tuhanku! Apakah Engkau akan membakar hati yang mencintai-Mu, lisan yang menyebut-Mu dan hamba yang takut kepada-Mu?

Selama tiga puluh tahun ia selalu menjerit dalam doanya :
Ya Tuhanku! Tenggelamkanlah aku di dalam kecintaan-Mu supaya tidak ada satu pun yang dapat memalingkan aku daripada-Mu.

Rabi’ah seolah-olah tidak mengenali yang lain selain Allah. Dia tidak mempunyai tujuan selain untuk mencapai keridlaan-Nya. Rabi’ah telah mempertalikan seluruh pikiran dan perasaannya hanya kepada akhirat semata. Dia sentiasa meletakkan kain kapannya di hadapannya.

Cinta Rabi’ah tak dapat disebut sebagai cinta yang mengharap balasan. Justru, yang dia tempuh adalah perjalanan mencapai ketulusan. Ia berkata, “Jika aku menyembah-Mu karena takut pada api neraka maka masukkan aku di dalamnya! Jika aku menyembah-Mu karena tamak kepada surga-Mu, maka haramkanlah aku daripadanya! Tetapi jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu, maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku kesempatan untuk melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu.

Begitulah keadaan kehidupan Rabi’ah yang ditakdirkan Allah untuk diuji dengan keimanan serta kecintaan kepada-Nya. Rabi’ah meninggal dunia pada 135 Hijrah (801M) ketika itu usianya menjangkau 80 tahun. Semoga Allah meredlainya, amin …..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar